
Tari Brenong Kepang
Brenong Kepang merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi ketika seorang calon pengantin laki-laki hendak melaksanakan pernikahan di zaman dahulu. Adapun syarat yang dibawa yaitu semua bentuk peralatan dapur/memasak dan ditambah dengan berbagai sesaji. Tari ini berisi petuah buat kedua pengantin dalam berumah tangga. Serta kadang di dalamnya diselingi dengan humor. Pagelaran yang diiringi dengan Gendhing Banyumasan ini di wakili oleh dua orang dukun begalan. Yang satu mewakili pihak pengantin putri dengan ciri khas membawa “Wlira” (ruyung dari pohon Jambe), sedangkan perwakilan dari pihak putra ditandai dengan membawa “Brenong Kepang” (perabot dapur).

Tari Rampak Yakso
Kesenian Tari Rampak Yakso Pringgondani dari Desa Dieng Kulon Banjarnegara adalah kesenian tradisional kolosal yang diperagakan oleh pemuda dan masyarakat yang sebagian besar berprofesi sebagai petani. Tarian ini menggambarkan peperangan antara Raden Gatot Kaca yang didampingi oleh Palwagaseta (Kera Putih) melawan musuh dari Kerajaan Giling Wesi yang dipimpin oleh Prabu Kolo Pracono dengan Patih Skepu. Adapun penyebab dari peperangan ini yaitu dikarenakan Prabu Kolo Pracono membuat keonaran di Kahyangan Njuggring Seloko. Peperangan ini dimenangkan oleh Raden Gatot Kaca.
Tarian ini menjadi kebanggaan masyarakat dieng dan ditarikan untuk menyambut pasca panen raya.
Sunatan Tempo Dulu
Khitanan atau sunatan pada zaman dahulu merupakan salah satu hajat dari setiap orang berumah tangga. Dizaman dahulu, pelaksanaan khitanan dilaksanakan sangat meriah. Si anak yang hendak disunat terlebih dahulu ditandu dan diiringi oleh tarian-tarian atau kesenian daerah yang ada di masyarakat setempat. Bagi yang memiliki uang lebih banyak anak naik kuda pilihan ada juga yang menggunakan sepeda unta. Keesokan harinya, setelah subuh atau sekitar jam lima pagi iring-iringan itu berangkat ke sungai dan si anak disuruh berendam terlebih dahulu. Setelah dirasa cukup berendam, si anak kemudian dibawa kembali ke rumah dan dimasukkan ke dalam krobongan (semacam ruang khusus untuk melakukan proses sunat). Di dalam krobongan juru khitan (dukun sunat) telah siap untuk melaksanakan tugasnya. Adapun alat yang digunakan untuk menyunat anak di zaman dahulu masih sangat sederhana dan jauh dari steril. Tanpa obat bius dan tanpa dijahit. Sehingga darah akan cenderung mengucur deras. Tidak jarang anak dikhitan pada zaman dahulu jatuh pingsan. Setelah krobongan dibuka berarti proses khitan telah selesai dan kemudian si anak diberi makanan yang dianggap mampu memberikan kekuatan tubuh, seperti ; air kopi pahit, gula, jahe, daging bakar, nasi putih. Tak lupa si anak juga dikasih jeruk nipis, bukan untuk dimakan tetapi hanya untuk pengharum supaya akan tidak mual-mual bahkan muntah ketika menghirup bau darah yang mulai mengering. Konon menurut informasi Bapak Hadi Supeno Wakil Bupati Banjarnegara kita disunat dengan cara tempoe dulu ini.
Lesung dan Kotekan

Lesung adalah alat penumbuk padi yang digunakan oleh sebagian besar masyarakat Banjarnegara pada zaman dahulu. Sedangkan Kotekan adalah suatu hiburan yang dilaksanakan ibu-ibu petani zaman dahulu dengan memukul-mukulkan alat penumbuk padi sehingga menimbulkan nada-nada tertentu dan terdengar alami. Kotekan selain sebagai hiburan juga merupakan perwujudan dari rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena panen berhasil. Dalam pentas kali ini digunakan satu buah lesung dengan 8 ibu-ibu petani untuk menabuh lesung tersebut, dan 12 orang wanita yang memperagakan petani sedang menanam padi, serta didukung oleh 8 pria yang berperan sebagai petani yang membawa hasil panen.
Tari Angkring
” Dawet Ayu Banjarnegara “

Dawet Ayu Banjarnegara memang ASLI dari Banjarnegara, bukan dari daerah lain. Dawet ayu adalah minuman khas terdiri dari santan, air gula aren (juruh), dan dawet yang terbuat dari tepung beras dan tepung gelang. Dengan tambahan nangka dan durian, kelezatan dan aroma dawet benar-benar menggugah selera yang menyegarkan.
Perlengkapan penjualan memakai simbul wayang Semar dan Gareng. Kedua tokoh wayang itu sangat merakyat sehingga dapat diartikan bahwa dawet adalah minuman menyegarkan yang dapat dinikmati oleh semua golongan masyarakat. Tema penampilan
“Dengan tari Angkring Dawet Ayu diharapkan bisa meningkatkan pertumbuhan wirausaha baru pengolahan dawet ayu sehingga membantu mengatasi pengangguran dan meningkatkan kesejahteraan rakyat”
Semar (mar) gareng (reng) jadi Mareng = kemarau. Dengan kemarau (tidak hujan) dawet ayu akan laris manis.
Kesenian Jepin adalah kesenian rakyat yang berusia tertua dan mengakar hidup dimasyarakat Desa Pagentan Kecamatan Pagentan Kabupaten Banjarnegara. Kesenian ini mulai tumbuh sejak jaman Jepang, kesenian ini diciptakan bertujuan untuk semangat juang melawan penjajahan saat masyarakat sampai pada titik terendah. Mulailah kesenian Jepin diperkenalkan oleh tokoh pejuang untuk memancing dan menggelorakan semangat juang masyarakat. Gerakan olah kanuragan yang menciptakan gerakan tegas seirama tabuhan beritme dinamis lengkaplah sudah seni rakyat jepin menjadi gandrungan warga. Busana yang dipakai oleh pemain mirip busana kejawen silat serba hitam serta ikat kepala wulung sebagai penegas gerakan kepala. Seni rakyat ini sering ditampilkan saat hajatan, peringatan hari besar dan wetonan. Penabuhnya terdiri dari 7 ( tujuh ) orang masing – masing memegang 1 ( satu ) jedur dan 6 ( enam ) lainya memegang terbang. Ketika sang pemandu meniupkan peluit pertanda saat menampilkan jurus – jurus jepin beraksi.
Rodad merupakan tradisi unik warisan budaya leluhur dan sebuah kearifan lokal yang secara turun temurun masih dijaga dan dilesatarikan oleh masyarakat khususnya di Desa Pasegeran Kecamatan Pandanarum Banjarnegara. Rodad ini seni ketrampilan yang didalamnya memadukan antara unsur beladiri dan lagu/nyanyian yang diiringi dengan sholawat sebagai bentuk pujia-pujian. Instrumen yang digunakan untuk mengiringi sholawat dan gerakan beladiri antara lain terbangan, jedor dan rebana.
Rodad menjadi salah satu metode dakwah yang dilakuakan para wali melalui akulturasi budaya yang ada pada masyarakat setempat waktu itu. Tradisi ini juga bertujuan untuk syiar Islam, karena syair-syair yang disampaikan berupa pesan yang merupakan sholawat. Pementasan Rodad biasanya digelar untuk meramaikan upacara meminta keselamatan dan terhindar dari malapetaka. Rodad umumnya diselenggarakan pada saat bulan-bulan besar Islam.
Tari Ujungan

Ujungan merupakan ritual meminta hujan yang dilakukan oleh masyarakat Gumelem dan sekitarnya ketika musim kemarau panjang. Melalui ritual ini, para lelaki terpilih saling memamerkan kekuatan “atosing balung, wuleding kulit” (kerasnya tulang, kuatnya kulit) yang dipadu dengan tindakan estetis. Sekilas tari Ujungan semacam olah raga tradisional yang cukup keras, menggunakan sebatang rotan untuk memukul lawannya pada bagian paha ke bawah. Semakin banyak darah yang ke luar maka semakin cepat hujan akan turun. Namun dibalik kerasnya pelaksanaaan ritual tersebut, sebenarnya ritual Ujungan memiliki tujuan yang sangat luhur bagi kontinuitas kehidupan dunia. Bahwa air adalah sebagai sumber kehidupan. Dalam pementasan karya kali ini, ditampilkan tari Ujungan yang dipadukan dengan tarian Lengger serta batik gumelem.
Brendung
Nyai Brendung adalah boneka yang dibuat dari siwur (gayung dari tempurung) dan bubu penangkap ikan yang dihias seperti boneka serta dengan asesoris bunga-bunga yang diikat dengan angking. Nyai Brendung dimainkan oleh warha setempat dengan tujuan untuk meminta datangnya hujan. Boneka Brendung bisa bergerak sendiri dengan permohonan seorang pawang disertai dengan beberapa sesaji dan dinyanyikan lagu/mantra. Tujuan diberikannya sesaji dan dinyayikan lagu/mantra yaitu untuk memanggil ruh-ruh gaib yang diiringi dengan musik lodong. Adapun peserta pemain Boneka Brendung terdiri dari 20 pemain putra dan 10 pemain putri.